lingkaran
Educational community for Creatives to develop skills and interests through knowledge sharing.
Desain klasik kerap diasosiasikan dengan penghuni old money. Padahal kenyataannya tidak selalu begitu. Seiring dengan perkembangan teknologi material dan pencampuran berbagai style, desain klasik kian cocok untuk berbagai kalangan. Penerapannya pun tidak harus selalu mahal. Gayanya juga bisa disesuaikan dan digabungkan dengan style-style lain, sehingga bisa lebih kuat dalam mencerminkan karakter penghuninya.
Tren desain interior, khususnya yang bergaya klasik, dibahas dalam We Need to Talk “Efek Rumah Kece” yang diselenggarakan oleh lingkaran dan Lifetime Design pada Jumat, 9 September 2022. Dimoderatori oleh Dwifanny Zuhra Lubis (Digital Manager Living Loving), Ony Khariz (Principal Designer Lifetime Design) dan Rauda Alessa Hendarman (aristek & desainer) memberikan pandangannya seputar desain interior.
Pada awal diskusi, para narasumber membahas sekilas soal kesadaran soal desain interior. Menurut Ony, dulu interior masih lebih sering dikerjakan oleh arsitek. Namun, belakangan orang mulai paham bahwa ada spesialisasi tersendiri untuk interior rumahnya. Ini pun tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja.
“Dari situ kita simpulkan bahwa sekarang mungkin interior mungkin memang sudah sepenting itu pada masa sekarang,” ucap Ony.
Sepakat dengan hal itu, Alessa menyebut sekarang banyak referensi style-style baru dari luar. Brutalism, misalnya, kini makin sering ditemui. Mulai ada desain dengan material-material exposed, salah satunya mungkin juga karena sudah berkembangnya teknologi material. Sebagai desainer, Alessa pun menyebut bahwa kini makin banyak alternatif untuk dicoba.
“Style-nya sekarang beragam. Banyak banget yang bisa dicampur. Mungkin salah satunya kayak di Lifetime Design. Ada klasik yang mungkin udah campur juga dengan modern, ada juga yang campur dengan kontemporer,” ucap Alessa.
Desain Klasik untuk Anak Muda
Ada semacam pandangan bahwa desain klasik adalah untuk orang kaya dan tua. Cuma ini tidak sepenuhnya tepat. Menurut Ony, semuanya tergantung selera. Jika anak muda melihat uniqueness sendiri pada desain klasik, tidak ada salahnya ia memilih itu.
“Di kurikulum klasik pun, ketika orang Eropa menciptakan desain yang seperti itu, tidak pernah disebutkan bahwa desain klasik khusus untuk orang umur tertentu,” ucap Ony.
Meski begitu, anggapan bahwa klasik itu tua memang ada. Ini dialami oleh Ony, ketika klien-kliennya mengira desainer Lifetime Design sudah tua-tua—padahal tidak. Sementara dari sisi klien, menurut Alessa, yang muda-muda sebenarnya juga ada yang suka desain klasik, tapi mereka takut seleranya dianggap seperti orang tua.
“Sebagai desainer, kita biasanya akan ngelurusin tuh. Enggak juga kok. Desain klasik itu enggak selalu relevannya dengan yang tua,” ucap Alessa.
Lalu, memang apa sih desain klasik itu? Istilah klasik itu sendiri juga bisa ditafsirkan berbeda-beda, mulai dari umur desainnya hingga referensinya yang dari Eropa. Akan tetapi, sebenarnya klasik tidak mesti dari Eropa. Bisa juga sesuatu yang sifatnya etnik dari Indonesia itu kemudian ditafsirkan sebagai klasik.
“Misalnya kita mengembangkan sebuah desain Indonesia. Bisa jadi orang menyebutnya itu sebagai klasik kontemporer mungkin? Jadi klasik enggak melulu dari Eropa,” ucap Ony.
Rumah sebagai Cerminan Pribadi
Komunikasi dengan klien adalah faktor penting dalam mengerjakan desain interior. Ony bercerita, saat merumuskan desain yang tepat, ia biasanya akan mengajak nongkrong klien untuk mengobrol. Klien bisa menceritakan apa pun, baik soal aktivitas maupun keluarganya. Dari situ akan kebayang soal kebutuhan ruangannya.
Tak hanya mencerminkan penghuninya, desain interior juga perlu menjadi solusi. Untuk itu, Alessa menyebut bahwa seorang arsitek atau desainer perlu mencari tahu pain klien. Apa yang klien tidak sukai dan menyulitkannya selama di rumah? Itu semua harus dipahami.
“Dengan begitu kan, kita bisa tahu tuh nanti, cerminan atau personanya seperti apa yang akan kita perlihatkan,” ucap Alessa.
Selama berkomunikasi dengan klien, yang sering juga dibahas adalah soal harga. Menurut Alessa, desain dengan looks mahal, belum tentu biayanya mahal, selama material-materialnya disesuaikan. Sebaliknya yang simpel juga belum tentu lebih murah. Desain minimalis dengan atap yang datar, misalnya, sekalipun simpel secara looks, perawatannya terbilang mahal—di tengah iklim tropis dan curah hujan tinggi.
Selain memilih material yang sesuai budget, menentukan fokus desain juga sangat bisa mengurangi biaya. Misalnya ingin memberikan kesan klasik, tidak perlu seisi rumah semuanya ada elemen klasik. Sentuhan klasik bisa diberikan pada salah satu dinding saja. Dinding ini kemudian dikemas sebagai satu focal point yang berpengaruh ke kesan keseluruhan rumah.
“Bisa juga fokuskan pada misalnya elemen plafon saja. Sisanya, dinding dan lantai, bisa dengan memakai border saja. Itu kan pesan fancy-nya tetap terlihat,” ucap Ony.
Mengakhiri diskusi, kedua narasumber percaya ke depannya desain klasik masih akan relevan.
Alessa berefleksi, setidaknya pada tren 20 tahun belakang, desain klasik tetap ada dengan berbagai rupa. Pada 2000-an, misalnya ada desain shabby chic. Sementara pada 2010-an ada tuscan style yang ada elemen-elemen klasiknya. Percampuran dengan gaya yang lebih modern pun sangat mungkin terjadi menurutnya.
Sementara itu, menurut Ony, desain klasik sangat kuat dari sisi uniqueness-nya. Klasik punya kompleksitas dan historinya sendiri. Dari sisi timeless-nya ini juga sudah terbukti. Desain klasik telah ada dari zaman dulu kala dan masih tetap bertahan sampai sekarang.
“Berikutnya, mungkin unsur etnik Indonesia-nya yang akan lebih diangkat dan timeless,” ucap Ony.
Diskusi kemudian ditutup dengan tanya jawab seputar rumah klasik dengan audiens sembari berfoto bersama.
Stay tuned untuk tahu topik-topik seru We Need to Talk lainnya lewat Instagram @lingkaran.co. 🙌🏼