Is Branding Overrated? Menurut Circlenya lingkaran sih Enggak

Alo, gengs!

“Is branding overrated?” mungkin terdengar seperti pertanyaan yang provokatif. Namun, ini bukan pertanyaan yang muncul begitu saja. Jika kita googling, anggapan branding itu overrated dapat dengan mudah kita temui. Josh Kaufman, penulis buku The Personal MBA: Master the Art of Business, bahkan menulis di blognya: Ignore your “brand”—focus on building your reputation instead.

Pertanyaan apakah branding itu overrated—dihargai terlalu tinggididiskusikan di Discord “Circlenya lingkaran” pada Jumat, 10 Juni 2022. Beberapa rekan yang turut berbincang antara lain adalah David Irianto (Cofounder Greatmind.id & Simpul Group), Fandy Susanto (Director at Table Six), Narawastu Indrapradana (Cofounder digital agency DOKI), Arif Hakim (Strategy Director of Pot Branding House), dan Wendy Pratama (Founder & Headmaster of lingkaran). 

Is Branding Overrated?

Menjawab cepat pertanyaan tersebut, David, Fandy, Nara, dan Arif sepakat menyebut: tidak. Meski demikian, dunia branding tidak sepenuhnya sempurna. Ada beberapa hal yang disebut membuat branding menjadi terlihat seakan-akan overrated:

  1. Anggapan orang soal branding tercampur dengan marketing, sehingga dianggap “sama saja” padahal aslinya beda.
  2. Branding overpopulated. Orang yang melakukan branding semakin banyak, dengan kemampuan yang berbeda-beda. 
  3. Kompetisi brand tinggi, sehingga branding menjadi mahal. Semua brand berlomba-lomba melakukan yang terbaik, sehingga brandingnya menghabiskan banyak uang.
  4. Mungkin ada yang merasa kecewa karena setelah melakukan banyak hal di branding, efeknya tidak terasa. Ini kadang bukan kesalahan branding-nya, melainkan karena banyak faktor.

Dalam kondisi tersebut, yang dibutuhkan kemudian adalah branding yang “pas”. Branding sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan founder. Tanya dulu: apakah bisnis ini membutuhkan branding yang begitu komprehensif? Ketika bisnisnya tidak perlu, tapi branding-nya overly designed, wajar jika kemudian dia merasa branding itu overrated

Padahal, kadang branding itu sendiri tidak perlu mahal. Branding bisa dimulai dari ide atau keyakinan founder—bukan research panjang yang mendalam. Kita bisa fokus ke keyakinan yang telah ada secara internal, baru kemudian biarkan itu tumbuh sendiri secara organik. 

“Membuat segala sesuatu, kalau emang buat main-main, ya ngga usah mahal-mahal,” ucap Fandy.

Sebagai konsultan, para praktisi branding juga sebaiknya menjelaskan arah branding yang dimaksud oleh klien. Berikan skenario dan implikasi-implikasi ke depannya. Lagi-lagi, ini pun tidak harus dilakukan semua, tapi bisa secara pelan-pelan, satu per satu, dan organik.

Owner merasa tidak perlu branding

Di pertengahan diskusi, seorang peserta Discord, Rani, menceritakan pengalamannya mengerjakan branding beberapa perusahaan. Menariknya, ia menemukan bahwa tidak semua owner mau brandnya diberi visual dan verbal yang konsisten untuk branding—menurut owner tersebut, konsistensi semacam itu tidak kreatif. Selain itu, ada juga owner-owner yang tidak merasa perlu branding, karena tanpa branding pun barang jualannya sudah laku.

Menjawab Rani, Nara menyebut bahwa hal itu wajar terjadi, terutama ketika sales sedang baik-baik saja. Namun, jika memang mau berusaha memberi perspektif lain, mungkin kita bisa memberikan sejumlah studi kasus atau contoh yang mana sales perusahaan naik karena branding

Sementara itu, menurut Fandy, “berubah-ubah” itu mungkin memang karakter dari brand yang disebut Rani. Belum tentu kalau visual dan verbalnya dibikin konsisten, sebuah brand menjadi lebih baik—contohnya saja MUJI yang saat ini sudah tutup di Indonesia. Alhasil, yang bisa dilakukan mungkin bukan mengubah mindset, melainkan “dengarkan dan kasih masukan”. 

Obrolan kemudian berlanjut ke persoalan branding di mata owner. Owner tertentu kadang memang bisa kurang suka dengan branding, karena bikinnya capek dan enggak kelihatan salesnya. Baru ketemuan pertama kali ngomongin branding, ternyata yang dipikirkan sudah harus 2.000 langkah ke depan—dan itu mahal. Hal semacam ini seharusnya jangan sering-sering terjadi. Klien atau owner sebaiknya jangan dibikin capek duluan. 

Branding itu sendiri yang penting adalah core-nya. Kadang, tidak semuanya perlu diatur dan dibikin seragam. Apalagi pada zaman sekarang ketika medium terus berubah. Kalau kita kaku, nantinya justru akan bingung sendiri menghadirkan brand kita dalam berbagai konteks. Jadi tidak ada salahnya berjalan organik, karena branding memang tidak melulu harus rumit. Untuk itu, kita bisa bedah lagi, mana yang core dan mana yang atribut dari brand kita.

Branding vs Marketing?

Poin menarik berikutnya dalam obrolan ini adalah pertanyaan dari Hamdan. Ia bertanya ketika branding berjalan, dan kemudian ternyata sales justru turun, kira-kira siapa yang harus disalahkan: branding atau marketing? Kemudian untuk branding sendiri, jika bukan sales, tolok ukur apa yang kemudian harus dipakai untuk tahu bahwa branding berjalan ke arah yang tepat?

Nara menyebut bahwa kedua belah pihak tidak bisa disalahkan semudah itu. Branding itu membangun perceived value. “Kalau price-nya di atas perceived value ya ngga kena,” ucapnya. Sementara untuk mengukur branding, kita sendiri bisa menggunakan researcher. Yang diukur itu brand awareness, brand positioning, dan lain-lain. 

Nara kemudian juga menceritakan apa yang didapatnya dari buku The Long and the Short of It. Dalam buku itu, yang dimaksud dengan “the short” adalah performance marketing, dan ini proporsinya 40 persen. Adapun “the long”, 60 persennya, adalah membangun loyalty. Intinya keduanya harus diperhatikan untuk win battle dan win the war

Memperoleh brand loyalty sekarang adalah hal yang berat. Sulit untuk membayangkan, misalnya, kita memiliki brand equity & brand loyalty seperti Nike atau Apple. Di tengah kondisi tersebut, kita perlu melihat perjalanan branding sebagai sebuah maraton. Kita perlu menjadi lebih peka dengan kondisi-kondisi yang ada. Apa yang dipentingkan generasi sekarang? Lalu bagaimana brand expression bisa memenuhi itu? Ini semua adalah pekerjaan berikutnya yang dibutuhkan agar brand kita survived atau bahkan tumbuh. 


Untuk mengikuti obrolan di Discord lainnya, tunggu informasinya di Instagram lingkaran, ya!

Untuk waktu dekat ini, ada obrolan soal pekerjaan penulis dalam diskusi “Everybody’s Got Something to Write” bersama expert-expert di bidangnya:

Klik di sini untuk daftar ya!

See you! 🙌

Share Now

lingkaran

Educational community for Creatives to develop skills and interests through knowledge sharing.

More Posts By lingkaran

Related Post